Dulu ABRI Menipu orang Tua Kami yang Belum Tahu Membaca dan Menulis Pada Pepera 1969

KINI, TNI-POLRI MENGHADAPI KAMI ANAK CUCU MEREKA YANG SUDAH SEKOLAH

“Lebih khusus, Orang Asli Papua dari pegunungan/pedalaman ABRI menipu orang tua kami dalam pelaksanaan Pepera 1969 dan sekarang TNI-POLRI menghadapi anak-anak terdidik dari orang-orang tua belum tahu membaca yang pernah ditipu.”

Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman,MA

Pada Juli 1969 di Jayawijaya ABRI ( kini: TNI) mengumpulkan orang-orang tua kami dan dipaksa dengan moncong senjata untuk menyatakan tinggal dengan Indonesia. Orang-orang tua kami adalah orang-orang hebat yang memiliki peradaban tinggi dan mempunyai segalanya. Satu hal yang pasti, yaitu hampir 99% dari orang-orang tua kami, mereka belum tahu MEMBACA dan MENULIS.

Nama-nama peserta Pepera yang dipilih dan ditentukan ABRI waktu rekayasa pelaksanaan Pepera 1969 sebagai berikut:
1. Ambek Belek; 2. Autuali; 3. Mbirok; 4. Maroka; 5. Salenen Elokpere; 6. Isakmo Siep; 5. Wesima Doka; 6. Abelam Wenda; 7. Muliasom Heselo; 8. Masahuk Eselo; 9. Wimluok Heselo; 10. Kalamsang Meage; 11. Musanakawa Elokpere; 12. Ikiak Kossy; 13. Jarakama Wetipo; 14. Penago Italay; 15. Alongeak Wetipo; 16. Penago Itlai; 17. Alongeak Wetipo; 18. Lukami Lantipo; 19. Opakarok Loga; 20. Kur Mabel; 21. Lasuwok Meage; 22. Wapaga Wenda; 23. Guname Tabuni, 24. Motodek Mabel; 25. Holarik Elatok; 26. Petrus Marian; 27. Kukulele Wenda; 28. Wenawulek; 29. Jarakama Menge; 30. Anemini Wetipo; 31. Sakarias Meage; 32. Helearek; 33. Johanis Meage; 34. Malmarek Hesegem; 35. Jasa Asho; 36. Jan Hubi; 37. Kursiba Heselo; 38. Sebena; 39. Esaul Wenda; 40. Ewoyop; 41. Lukas Uropmabin; 42. Robert Ningdana; 43. Grenem; 44. Setyongem; 45. Wemi; 46. Petrus Bajumka; 47. Lukas Uropmabin; 48. Jahekon; 49. Tambonop; 50. Anton Wasini; 51. Silas (alm); 52. Silas; 53. Johanis Waluk; 54. Rafael Uropmabin; 55. Yan Kasobmabin; 56. Agustinus Ujanggi; 57. Johan Jamhin; 58. Isak Jawalika; 59. Kupan; 60. Wetimerop; 61. Kitok; 62. Alwolgi; 63. Ogokmen; 64. Niyawarak; 65. Fransiscus Harbelubun; 66. Komenake Taboni; 67. Lapalogo Logowan; 68. Kuliaknimbo Tabone; 69. Malok Uaga; 70. Nggutage Kogoya; 71. Inenggenambik Kogoya; 72. Tiwimbunuk Kanungga; 73. Togowarak Bogom; 74. Tabananok Jikwa; 75. Jijawen Jikwa; 76. Guariwarek Jikwa; 77. Kubenek Pagawak; 78. Matheus Kogoya; 79. Nimbungamendek Kogoya; 80. Diyarak; 81. Maga Gombo; 82. Nimbugamendek Kogoya; 83. Ditarak; 84. Magap Gombo; 85. Jan Mbini; 86. Lea Karoba; 87. Kikmarek Kogoya; 88. Garja Wea; 89. Obarek Jikwa; 90. Thomas Wanimbo; 91. Emelugun Ugawa; 92. Wiwinom Pagawak; 93. Jonir Pagawak;

94. Karubaganua Jikwa; 95. Idris Nokotilalu; 96. Daniel Haluk; 97. Akinao Hibi; 98. Wiringga Wakerkwa; 99. Taiorak; 100. Ginarak; 101. Punuk; 102. Tawaranua Wanimbo; 103. Wanembanak; 104. Tuweri; 105. Noak Pagawak; 106. Kateis; 107. Ijombaga Igibalom; 108. Amirogo; 109. Jahja Kogoya; 110. Amatus Atek; 111. Koya Mende; 112. Wijanir; 96. Mayu; 113. Tenongga; 114. Noak; 115. Nicolas Igibalom; 116. Petri; 117. Owagarik Igibalom; 118. Kanianggen; 119. Aiwene; 120. Joranggen; 121. Juguwarak Wenda; 122. Endekemendek Wanimbo; 123. Nggemenage; 124. A.F. Wutoy; 125. Kubagamendek Yikwa; 126. Wunikmban Ewya; 127. Metaganak Wandik; 128. Watukolek Asso; 129. Aligat Hesegem; 130. Siluki Meage; 131 J.Maran; 132. Benyamin Wanda; 133. Amburuinom Jigibalom; 134. Musa Amburu; 135. Mburinengga Pagawak; 136. Amuli Matuan; 137. J. Akobiarek; 138. A. Ibo; 139. M.H. Rumbino; 140. Ny. Komboi; 141. L.J . Yosi; 141. A.M. Takati; 143. Jatebganua Jikwa; 144. Wajibmban Wejanggunik; 145. Mburinggwe Enumbi; 146. Andugi Weja; 147. Waoma Wenda; 148. Wenebu Tabuni; 149. Matias Wenda; 150. Pelepaca Kalingga; 151. Sakeos; 152. Sale; 153. Amoro; 156. Suiroba; 157. Simon; 158. Markus Wenda; 159. Selimo Owegeit; 160. Abraham Itlay; 161. Agpy Dermonggen; 162. Sub Warek; 163. Sasunggulo; 164. Esinoake; 165. Pagerah; 166. Olarik; 167. Aname; 168. Watlarik; 169. Musawarek; 170. Ikluweak; 171. Kolik; 172. Somonay; 173. Lewuleh; 174. Amus Tabuni; 175. Jusuf Wanimok; 176. Herna Daisiu; 178. Jerarik; 179. Anes Clemens.
Orang-orang tua kami yang nama-nama mereka yang tertulis di sini adalah orang-orang luar biasa, para pemimpin dan penguasa yang hebat di atas Tanah leluhur mereka sendiri. Sudah dijelaskan dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (Yoman, 2010, hal. 92) sebagai berikut:

Orang-orang Papua pada umumnya dan lebih khusus orang-orang Papua dari pegunungan adalah “orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya.”

Pastor Frans Leishout,OFM melayani di Papua selama 56 tahun sejak tiba di Papua pada 18 April 1963 dan kembali ke Belanda pada 28 Oktober 2019, ia meninggalkan salah satu legacy buku yang berjudul: “KEBUDAYAAN SUKU HUBULA LEMBAH BALIM-PAPUA.” Dalam buku ini Pastor Frans Lieshout, OFM mengakui kemerdekaan atau kedaulatan rakyat dan bangsa West Papua, sebagai berikut:

“Para pemimpin tradisional mengatur dengan penuh wibawa kepentingan masyarakat mereka dan tidak ada orang yang menentang atau mendemo mereka. Maka profil asli orang Balim adalah kurang lebih sebagai berikut: Orang Balim biasanya tampil dengan gagah, ia suka mandiri dan hidup dengan harmoni dalam alam sekitarnya, ia menjunjung tinggi kehidupan bersama dan bersatu dengan orang lain, ia mempunyai rasa harga diri tinggi, ia trampil sebagai petani dan rajin bekerja. Ia bangga dan puas dengan keberadaannya dan tidak mudah mengemis. Ia mempertahankan nilai-nilai hidup baik dengan kontrol sosial yang kuat. Para pemimpin berpihak kepada masyarakat….” ( 2019:87).

Lebih lanjut Pastor Frans mengakui:

“Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Balim yang begitu manusiawi. Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, …Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni…dan semangat kebersamaan dan persatuan…saling bersalaman dalam acara suka dan duka…” (2019:85-86).

Dari hasil riset dan penelitian serta pengalaman Pastor Frans Lieshout,OFM menyampaikan nilai-nilai peradaban orang-orang Papua dari gunung. Ada nilai penting yang ditulis oleh Pastor Frans sebagai berikut:

“….ia bangga dan puas dengan keberadaannya dan tidak mudah mengemis.”

Apa yang disampaikan Pastor Frans Lieshout adalah ya dan amin atau 100% benar. Kami bukan bangsa pengemis dan peminta-minta kepada bangsa lain sejak leluhur kami, orang-orang asli Papua dari Sorong-Merauke. Orang-orang asli Papua sejak leluhur tidak pernah menunggu di ruang tunggu supaya pertolongan datang dari orang-orang luar. Orang-orang asli Papua tidak pernah menunggu bantuan turun dari langit. Orang-orang asli Papua sejak leluhur memegang kendali kehidupan mereka dari turun-temurun dan dari waktu-waktu tanpa mengharapkan pertolongan orang-orang asing, termasuk bangsa kolonial moderen Indonesia yang berwatak barbar dan kriminal yang berkultur militer ini.

Peristiwa yang menyedihkan yang pernah terjadi pada waktu Pepera 1969 di Jayawijaya terhadap para pemimpin hebat ini. Orang-orang tua kami ini dikumpulkan dan dipaksa untuk setuju dengan pernyataan yang sudah disiapkan ABRI waktu itu untuk digabungkan ke dalam wilayah Indonesia.

Ada kekasian bahwa orang-orang tua kami diberikan hadiah radio kecil dan juga senter. Kisah yang memilukan hati penulis ialah ada orang tua yang bernama Wijanir Yanengga nomor 112 dalam daftar ini dan daftar resmi dari ABRI untuk Pepera bernomor 537.

Wijanir Yanengga dan teman-temannya mendapat senter. Pada waktu Wajanir kembali ke kampung Lokme, distrik Makki (sekarang: Kabupaten Lanny Jaya), senter itu dinyalakan oleh amggota ABRI waktu itu. Dalam perjalanan selama dua hari satu malam, senter itu tetap menyala siang dan malam. Karena siangpun tetap menyala baterai senter itu habis (mati).

Mengapa senter itu tetap menyala siang dan malam dalam perjalanan itu? Karena Wijanir Yanengga tidak diajarkan cara mematikan dan juga menyalakan senter dari pihak ABRI. ABRI melakukan kejahatan dan kebohongan besar terhadap rakyat dan bangsa West Papua. Sejarah busuk dan bengkok, Pepera 1969 yang penuh darah dan air mata ini harus diluruskan demi martabat kemanusiaan rakyat dan bangsa West Papua.

Kita harus akui dengan jujur, bahwa pendudukan dan penjajahan/kolonialisme Indonesia di West Papua merupakan kejahatan politik, kejahatan kemanusiaan, kejahatan ketidakadilan, karena itu, Pendudukan dan Penjajahan Indonesia di West Papua ialah Ilegal. Tidak ada legitimasi rakyat dan bangsa West Papua. Yang ada adalah legitimasi kekerasan, kejahatan, kekejaman, kelaliman dengan moncong senjata

“Orang-orang Indonesia tidak punya dusun, tanah, hutan, sungai diatas tanah Papua ini. Mereka datang menduduki dan menjajah bangsa West Papua. Penjajah dan kolonial dan penjahat dan perampok tidak perlu ditakuti. Mereka harus diajar dan dididik dengan pendidikan dan pengajaran yang benar melalui buku dan artikel. Para pendatang tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih karena kami izinkan mereka tinggal dan hidup dan memperbaiki taraf kehidupan ekonomi mereka. Mereka tidak ada hak mengaku ini tanah mereka”.

(sumber bacaan: Melawan Rasisme Dan Stigma Di Tanah Papua. Yoman.hal 184-185).

Saya menulis untuk rakyat dan bangsaku. Saya menulis untuk kemuliaan dan kehormatan bangsaku. Saya menulis untuk martabat bangsaku. Saya menulis untuk sampaikan pesan tentang penderitaan bangsaku kepada siapa saja. Saya menulis untuk nyalakan cahaya lilin kecil untuk bangsaku. Saya menulis untuk umumkan secara terbuka kepada semua orang tentang krisis dan tragedi kemanusiaan berkepanjangan yang dialami bangsaku.

Saya menulis dengan visi kebangsaan. Saya menulis dengan tujuan. Saya menulis digerakkan dengan kekuatan visi, tujuan dan target. Saya menulis dengan keadaan sadar. Saya menulis apa yang saya tahu. Saya menulis apa yang saya mengerti. Saya menulis apa yang saya lihat. Saya menulis apa yang saya saksikan. Saya menulis apa yang saya alami. Saya menulis apa yang saya pikir. Saya tulis apa yang saya rasakan.

Saya menulis menyuarakan yang tak bersuara. Saya menulis untuk bangsaku yang tertindas dan terjajah. Saya menulis untuk bangsaku yang terabaikan. Saya menulis untuk bangsaku yang dibuat tidak berdaya. Saya menulis untuk bangsaku yang terpinggirkan dari tanah leluhur mereka. Saya menulis untuk melindungi bangsaku yang merasa ketakutan. Saya menulis untuk menyelamatkan bangsaku yang sedang dimusnahkan oleh penguasa Indonesia sebagai Firaun dan Goliat moderen.

Saya menulis tentang sejarah bangsaku. Saya menulis tentang harga diri dan identitas bangsaku. Saya menulis pengalaman bangsaku. Saya menulis tentang harapan masa bangsaku.

Saya menulis untuk bebaskan bangsaku dalam rasa ketakutan. Saya menulis untuk sadarkan bangsaku yang sudah dilumpuhkan kesadaran oleh bangsa kolonial Indonesia. Saya meneguhkan dan menguatkan bangsaku yang ragu-ragu, kecewa dan bimbang

Menulis merupakan pertanggungjawanan iman dan ilmu pengetahuan serta panggilan hati nurani untuk rakyat dan bangsaku Melanesia di West Papua.

Tugas dan kewajiban saya dengan jalan menulis dapat mengubah cara pandang dan berpikir orang Melayu Indonesia, terutama penguasa, TNI-Polri yang menduduki dan menjajah bangsaku.

Saya senang dan suka mengutip komentar ini dalam beberapa tulisan saya. Kitipan ini menginspirasi saya untuk menulis dan menulis dan terus menulis untuk martabat bangsaku, West Papua, Sorong-Merauke.

“Sukmatari, kau sudah melangkah. Jangan mundur. Tulis sebanyak-banyaknya tentang bangsamu. Bangsa tertindas yang selama berabad-abad membisu. Tulis, umumkan, jangan sampai tak melakukan perlawanan. Ingat gadis Jepara itu, ingat Mutatuli, ingat Hatta, ingat Suwardi Suryoningrat, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, semua menggoncangkan sendi-sendi pemerintah kolonial dengan tulisan. Ya, dengan TULISAN! Menulis dan menulis sangat berbeda, ada orang menulis untuk klangenan, ada orang menulis untuk memperjuangkan sesuatu. Dan semua patriot yang kusebut, mereka menulis untuk memperjuangkan asas. Menulis hanya sebuah cara! Tulis Sukma.Tulis semua yang kau ketahui mengenai bangsamu. Tulis semua gejolak perasaanmu tentang bumi sekitarmu. Karena dengan menulis kau belajar bicara.”

(Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Sukarno, Roman Zaman Pergerakan: hal. 201).

Selamat membaca. Doa dan harapan penulis, tulisan ini menjadi berkat. Tuhan memberkati kita semua yang berniat mulia untuk tujuan-tujuan yang mulia untuk kemuliaan nama Tuhan dan kehormatan martabat kemanusiaan.

Ita Wakhu Purom, 21 November 2020.

 

Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.